Tatalaksana Gagal Napas
Oleh: dr. Asep Sopandiana A.S.
I PENDAHULUAN
Peranan sistem pernapasan adalah untuk mempertahankan PO2, PCO2, dan pH darah arteri tetap normal. Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata. Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal napas, disfungsi dari jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transpor oksigen hemoglobin, dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal napas.1
Insidensi di Amerika Serikat sekitar 360.000 kasus per tahun, 36% meninggal selama perawatan. Morbiditas dan mortilitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan adanya komorbiditas.2
Penelitian yang dilakukan Qian et al, dari total 13.070 perawatan di NICU, ada 1.722 (13,2%) kasus kegagalan pernapasan neonatus dengan sindrom gangguan pernapasan, pneumoni, sepsis, dan sindrom aspirasi mekonium sebagai penyebab utama. Untuk bayi yang bertahan sampai keluar perawatan, lama rata-rata penggunaan ventilasi adalah 70 jam. Secara keseluruhan, kematian di rumah sakit karena kegagalan pernapasan pada neonatus adalah 32,1%.3
II DEFINISI
Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara udara bebas dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal, sehingga menyebabkan kadar oksigen darah arteri dan/atau karbondioksida tidak dalam rentang normal.1, 4
III PATOFISIOLOGI
Gagal napas dibagi menjadi 2 tipe yaitu gagal napas hiperkapni dan gagal napas hipoksemi.
1 Gagal napas hipoksemi
Gagal napas hipoksemi mempunyai nilai PO2 arteri yang rendah, tetapi PaCO2 normal atau rendah. PaCO2 tersebut yang membedakan dari gagal napas hiperkapni. Gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru, misalnya pada pneumoni, aspirasi cairan lambung, emboli paru, asma dan ARDS.1, 2, 5
Patofisiologi
Hipoksemi menunjukan PO2 darah arteri (PaO2) yang rendah, dan dapat digunakan untuk menunjukan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Hipoksi menunjukan penurunan penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksi dapat disebabkan oleh hipoksemi berat, rendahnya curah jantung, anemia, syok septik, atau keracunan karbon monoksida.2
Mekanisme hipoksemi dibagi dalam dua golongan utama yaitu berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture).
1 Penurunan PO2 Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar adalah jumlah dari PO2, PCO22, PH2O, dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, maka setiap peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus.1
2 Pencampuran Vena (venous admixture)
Perbedaan PO2 alveolar-arteri (P(A-a)O2) meningkat dalam keadaan hipoksemi karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, P(A-a)O2 normalnya sekitar 10-20 mmHg, meningkat sesuai dengan usia dan pada posisi tegak.
Penyebab meningkatnya pencampuran vena:
1 Pirau kanan ke kiri (right to left shunt)
2 Ketidak sesuaian ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion mismatching = V/Q mismatching)
3 Keterbatasan difusi
Tabel 1 Mekanisme Hipoksemi
Mekanisme PACO2 PAO2 P(A-a)O2 PO2 pada 100% Contoh
O2 (mmHg)
PO2 Alveolar
PO2 inspirasi Normal > 550 ketinggian, penyakit
Hipoventilasi Normal > 550 neuromuslular,
sindrom obesitas-
hipoventilasi
Campuran
darah Vena
Pirau kanan Normal Normal < 550 ARDS, defek septal
ke kiri
V/Q Normal Normal > 550 Pneumoni, asma,
mismatching PPOK
Keterbatasan Normal Normal > 550 Proteinosis alveolar
difusi
Sumber Amin 2006
2 Gagal napas hiperkapni
Gagal napas hiperkapni mempunyai kadar PCO2 arteri (PaCO2) yang abnormal tinggi, terutama jika penyakit utama mengenai bagian bukan parenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan atau batang otak. PPOK, asma berat, fibrosis paru, dan ARDS dapat menunjukan gagal napas hiperkapni.1, 5
Patofisiologi
Hipoventilasi alveolar: dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses metabolik setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari kedua paru setiap menit. Hiperkapni selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar.
Rumus : VCO2 (L/menit) = PaCO2 (mmHg) x VA (L/menit) x 1/863
VCO2 = keluaran semenit CO2, PaCO2 = kadar PCO2 arteri, VA = ventilasi alveolar
Ventilasi semenit: jumlah total udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit (VE, L/menit), dapat diukur dengan rumus : VE = VA + VD
Kemudian didapatkan rumus :
VCO2 = PaCO2 x VE x ( 1-VD/VT)/863
VD/VT menunjukan derajat inefisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang normal yang sedang istirahat, nilai VD/VT sekitar 0,30 berarti sekitar 30% dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara.1
Hiperkapni ( hipoventilasi alveolar ) terjadi saat:
- Nilai VE dibawah normal
- Nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat
- Nilai VE dibawah normal, dan rasio VD/VT meningkat
IV MANIFESTASI KLINIS
Peningkatan PaCO2 merupakan penekan sistem saraf pusat, tetapi mekanismenya terutama melalui turunnya pH cairan serebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, pH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapni akut.1
Manifestasi gagal napas hipoksemi merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemi arteri dan hipoksi jaringan. Hipoksemi arteri meningkatkan ventilasi melalui stimulasi kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea dan biasanya hiperventilasi. Hipoksi menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerob, disertai pembentukan asam laktat.1
Tabel 2 Manifestasi Klinis Hiperkapni dan Hipoksemi
Hiperkapni Hipoksemi
Somnolen Ansietas
Letargi Takikardi
Koma Takipnea
Asteriks Diaforesis
Tidak dapat tenang Aritmi
Tremor Perubahan status mental
Bicara kacau Bingung
Sakit kepala Sianosis
Edema papil Hipertensi
Hipotensi
Kejang
Asidosis laktat
Sumber Amin 2006
V DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Gagal napas didiagnosis bila: PO2 arteri (PaO2) < 60 mmHg, atau PCO2 arteri (PaCO2) > 45 mmHg, kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis metabolik.1
VI TATALAKSANA
Gagal napas hiperkapni berarti adanya hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga penyakit dasar dapat diobati. Gagal napas hipoksemi memerlukan suplementasi oksigen sebagai terapi terpenting. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapni, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemi harus diatasi, terutama jika pneumoni, sepsis, anemia berat, serta curah jantung yang adekuat harus dipertahankan.1
1 Jalan napas
Pada semua pasien dengan gangguan pernapasan, harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial, seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risikonya.1, 6
Risiko jalan napas artifisial ialah trauma insersi, trauma orofaring atau nasofaring karena penekanan kronik, kerusakan trakea (erosi, trakeomalasia), gangguan respon batuk, risiko aspirasi meningkat, gangguan fungsi mukosiliar, risiko infeksi meningkat, tak dapat berbicara, meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan.1
Keuntungan jalan napas artifisial ialah dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi jalur pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan jalur untuk bronkoskopi fiberoptik.1
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah:
1 Secara fisiologis: hipoksemi menetap setelah pemberian oksigen, PCO2 > 55 mmHg dengan pH < 7,25, kapasitas vital < 15 mL/kg dengan penyakit neuromuskular.
2 Secara klinis: perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas, gangguan repirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik, obstruksi jalan napas atas, sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh pasien dan membutuhkan penyedotan.1, 6
2 Oksigen
Besarnya oksigen tambahan yang diperlukan tergantung pada mekanisme hipoksemi, tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek samping oksigen pada konsentrasi yang berbeda-beda, dan ventilasi semenit pasien. Karena oksigen konsentrasi tinggi merusak paru, harus diupayakan untuk meminimalkan jumlah dan lama terapi oksigen.1, 6
3 Bronkodilator
Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot polos, tetapi beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi.1
4 Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek sampingnya sangat berkurang, sehingga dosis yang lebih besar dan lebih lama dapat diberikan. Peningkatan dosis dan frekuensi pemberian sering kali dibutuhkan.1
Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Epinefrin tidak digunakan karena tidak spesifik terhadap reseptor α2, juga tidak menunjukan kelebihan dalam mengatasi bronkospasme. Agonis beta-adrenergik kerja lama (LABA), berguna untuk penggunaan kronik seperti mencegah bronkospasme, tetapi tidak direkomendasikan untuk serangan bronkospasme akut.1, 6
5 Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik) tergantung pada derajat tonus parasimpatis instrinsik. Antikolinergik direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta-adrenergik. Ipatropium bromide tersedia dalam bentuk MDI (metered-dose-inhaler) atau larutan untuk nebulisasi. Efek samping seperti takikardi, palpitasi dan retensi urin jarang terjadi.1
6 Teofilin
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta-adrenergik. Mekanisme kerjanya melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada siklik AMP (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta-adrenergik dan aktivitas anti-inflamasi. Efek sampingnya antara lain takikardi, mual, muntah, aritmi, hipokalemi, perubahan status mental dan kejang.1
7 Kortikosteroid
Kortikosteroid berfungsi untuk menurunkan inflamasi jalan napas. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Kortikosteroid inhalasi sangat jarang menimbulkan efek samping sistemik kecuali batuk karena provokasi bronkospasme. Kortikosteroid yang lebih kuat mempunyai efek samping jangka panjang pada pertumbuhan, osteoporosis dan perkembangan katarak. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama dengan obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.1, 6
Efek samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemi, hipokalemi, retensi natrium dan air, miopati steroid akut, gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.1
8 Ekspektoran dan nukleonik
Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas, terutama pada pasien dengan ETT. Kalium yodida oral mungkin berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental. Larutan NaCl 0,9% 3-5ml, larutan salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning).1
9 Ventilasi Mekanik
1.Ventilasi mekanik Konvensional
Ventilasi mekanik meningkatkan ventilasi semenit dan menurunkan ruang rugi. Pendekatan ini adalah pengobatan utama untuk hiperkapni akut dan hipoksemi berat. Strategi utama untuk ventilasi mekanik harus menghindari tekanan tinggi puncak inspirasi dan optimalisasi perekrutan paru-paru.2, 7
Pada orang dewasa dengan ARDS, strategi untuk memberikan volum tidal yang rendah (6 mL/kg) dengan mengoptimalisasikan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) menawarkan manfaat kelangsungan hidup lebih besar dibandingkan dengan volum tidal yang tinggi (12 mL/kg).2, 7
Menurut strategi hiperkapni ARDS, CO2 arteri diperbolehkan meningkat sampai 100 mmHg namun pH darah dipertahankan lebih dari 7,2 dengan cara pemberian larutan buffer intravena. Hal ini dilakukan untuk membatasi tekanan udara inspirasi kurang dari 35 cmH2O. PEEP harus diterapkan ke titik di atas tekanan infleksi seperti pada distensi alveolar dipertahankan sepanjang siklus ventilasi. Ventilasi mekanik konvensional mengoptimalkan rekrutmen paru-paru, meningkatkan tekanan rata-rata jalan napas dan kapasitas residu fungsional, dan mengurangi atelektasis diantara siklus napas.2, 7
Ventilasi mekanik meningkatkan ventilasi semenit dan menurunkan ruang rugi. Pendekatan ini adalah pengobatan utama untuk hiperkapni akut dan hipoksemi berat. Strategi utama untuk ventilasi mekanik harus menghindari tekanan tinggi puncak inspirasi dan optimalisasi perekrutan paru-paru.2, 7
Pada orang dewasa dengan ARDS, strategi untuk memberikan volum tidal yang rendah (6 mL/kg) dengan mengoptimalisasikan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) menawarkan manfaat kelangsungan hidup lebih besar dibandingkan dengan volum tidal yang tinggi (12 mL/kg).2, 7
Menurut strategi hiperkapni ARDS, CO2 arteri diperbolehkan meningkat sampai 100 mmHg namun pH darah dipertahankan lebih dari 7,2 dengan cara pemberian larutan buffer intravena. Hal ini dilakukan untuk membatasi tekanan udara inspirasi kurang dari 35 cmH2O. PEEP harus diterapkan ke titik di atas tekanan infleksi seperti pada distensi alveolar dipertahankan sepanjang siklus ventilasi. Ventilasi mekanik konvensional mengoptimalkan rekrutmen paru-paru, meningkatkan tekanan rata-rata jalan napas dan kapasitas residu fungsional, dan mengurangi atelektasis diantara siklus napas.2, 7
2 Ventilasi mekanik non konvensional
2.1 Inverse ratio ventilation
Selama ventilasi tekanan positif, fase inspirasi memanjang pada fase ekspirasi yang berlebih. Hal ini memperbaiki tekanan rata-rata jalan napas dan memperbaiki oksigenasi selama penyakit paru-paru akut yang berat. Ini adalah pola nonfisiologi untuk bernafas, sehingga pasien tersebut diberi sedasi berat.2, 7
2.2 Airway pressure release ventilation (APRV)
APRV adalah bentuk yang relatif baru dari inverse ratio ventilation yang menggunakan suatu rangkaian aliran gas secara kontinyu. Metode ini memungkinkan pasien untuk bernapas secara spontan sepanjang siklus ventilasi.2, 7
APRV menerapkan tekanan napas kontinyu (P high) identik dengan CPAP untuk mempertahankan volum paru-paru dan mempromosikan perekrutan alveolar. Selain itu, siklus waktu menghasilkan fase tekanan yang lebih rendah untuk meningkatkan ventilasi.
Studi eksperimental dan klinis dengan APRV menunjukkan perbaikan dalam pertukaran gas, curah jantung, dan aliran darah sistemik. Beberapa data menunjukkan pengurangan penggunaan obat penenang dan penghambat neuromuskular.2, 7
2.3 High-frequency oscillatory ventilation (HFOV)
APRV menerapkan tekanan napas kontinyu (P high) identik dengan CPAP untuk mempertahankan volum paru-paru dan mempromosikan perekrutan alveolar. Selain itu, siklus waktu menghasilkan fase tekanan yang lebih rendah untuk meningkatkan ventilasi.
Studi eksperimental dan klinis dengan APRV menunjukkan perbaikan dalam pertukaran gas, curah jantung, dan aliran darah sistemik. Beberapa data menunjukkan pengurangan penggunaan obat penenang dan penghambat neuromuskular.2, 7
2.3 High-frequency oscillatory ventilation (HFOV)
HFOV menggabungkan volum tidal rendah dengan frekuensi lebih dari 1 Hz untuk meminimalkan efek dari tekanan puncak dan tekanan rata-rata jalan napas.
HFOV telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan sindrom kebocoran udara terkait dengan cedera paru-paru akut neonatal dan pediatrik.2, 7
HFOV telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan sindrom kebocoran udara terkait dengan cedera paru-paru akut neonatal dan pediatrik.2, 7
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. h. 170-5.
2. Katyal P, Gajic O. Pathophysiology of Respiratory Failure and Use of Mechanical Ventilation. Rochester, MN, USA. 2008.
3. Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, et al. Neonatal Respiratory Failure: A 12-Month Clinical Epidemiologic Study From 2004 to 2005 in China. Pediatrics 2008;121:e1115-e24.
4. Anonim. Definition of Respiratory Failure. Journal [serial on the Internet]. 2010 (diunduh 30 Agustus 2010), Tersedia dari: en.wikipedia.org.
5. Fontán JJP, Behrman GGH. Respiratory Pathophysiology. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17, Saunders, An Imprint of Elsevier; 2004. h. 431-5.
6. Priestley M, Helfaer M. Approaches in the management of acute respiratory failure in children. Curr Opin Pediatr. 2004;16(3):293-8.
7. Priestley MA, Huh J. Pediatrics: Cardiac Disease and Critical Care Medicine. Journal [serial on the Internet]. 2008 (diunduh 5 Februari 2010), Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/908172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar